Moneyball
Jalan Cerita
General Manager dari klub baseball Oakland Athletics gusar begitu timnya kalah dari New York Yankees pada pertandingan pascamusim tahun 2001. Informasi di bursa transfer pemain menyebutkan bahwa ada sejumlah pemain bintang yang tersedia secara bebas. Billy Beane (Brad Pitt) berupaya mendapatkan Johny Damon, Jason Giambi dan Jason Isringhausen, tetapi terbentur terbatasnya anggaran tim untuk gaji pemain untuk musim kompetisi 2002.
Saat berkunjung ke markas Cleveland Indians, ia bertemu Peter Brand (Jonah Hill). Pria muda ini adalah seorang lulusan jurusan ekonomi dari Yale University, salah satu kampus terbaik di A.S. Ia punya ide “gila” yang saat itu orisinal untuk menentukan nilai seorang pemain, yaitu menggunakan statistik data kemampuan fisiknya.
Beane menguji teori Brand dengan memintanya menilai kondisi dirinya ketika usai lulus sekolah menengah (SMA). Setelah melakukan sejumlah kalkulasi, Brand mengakui bahwa ia tidak akan memasukkan Beane dalam daftar pemain plihannya hingga putaran kesembilan. Ia juga memberi masukan bahwa seharusnya Beane waktu itu menerima beasiswa ke Stanford. Temuan itu membenarkan fakta bahwa sewaktu berkarir sebagai pemain di Major League, Beane memang tidak istimewa walau pencari bakat (scout) sempat memprediksi Beane sebagai pemain fenomenal. Terkesan pada presentasi Brand, Beane mempekerjakannya sebagai assistant general manager di klubnya.
Tim pelatih dan tim pencari bakat semula menolak secara kasar metode pendekatan Brand. Mereka menyebut pendekatan sabermetric-nya aneh. Akibatnya Grady Fuson (Ken Medlock) dipecat oleh Beane setelah menghina pendekatan mereka. Brand menggunakan metode pemilihan pemain menggunakan perhitungan On Base Percentage (OBP). Dengan cara ini, ia menemukan sejumlah pemain dengan nilai bagus tetapi dihargai rendah karena memiliki beberapa karakteristik yang umumnya tidak disukai pencari bakat.
Dengan anggaran terbatas, mereka dapat memperoleh pemain jauh lebih baik daripada biasanya. Beane setuju dan mengambil semua pemain pilihan Brand. Tindakan ini ditentang semua tim pencari bakat dan pelatih termasuk manager Athletic Art Howe (Philip Seymour Hoffman). Ia mengesampingkan strategi Beane dan saran Brand dengan terus memainkan gaya lama. Diam-diam, Beane menjual salah satu pemain andalan mereka Carlos Peña. Ini memaksa Howe menggunakan pemain rekrutan anyar.
Di awal musim, Athletic bermain buruk, sehingga mengakibatkan banjir kritik. Media dan masyarakat menghujat metode baru sebagai sebuah kesalahan fatal. Beane menghadap pemilik klub dan meyakinkannya untuk tetap bertahan dengan metode dan strategi baru. Menurutnya para pemain hanya perlu waktu untuk beradaptasi saja.
Ucapannya terbukti. Perlahan tetapi pasti, grafik prestasi Athletic membaik. Berkat motivasi dan tangan dingin Beane didukung data statistik Brand, membuat tim yang biasa berada di papan bawah itu membuat rekor fenomenal: kemenangan beruntunt 20 kali berturut-turut. Ini adalah rekor baru American League.
Beane memiliki seorang putri yang juga ‘gila baseball’ dan kerapkali mempengaruhi keputusan ayahnya. Salah satunya adalah saat ia mendorong Beane yang percaya takhyul dengan tidak mau menonton televisi atau mendengarkan radio liputan pertandingan saat timnya sedang bermain. Pertandingan final musim itu adalah melawan Royals. Saat tim Athletic sudah unggul 11-0, Beane muncul ke stadion. Tetapi mereka lengah sehingga membiarkan Royals menyamakan kedudukan. Pada akhirnya, the A’s menang. Rekor kemenangan mereka pun dimahkotai dengan kemenangan atas Kansas City Royals tersebut.
Tetapi keberhasilan itu ternyata terhenti. Di paruh musim kedua, the A’s kalah di ronde pertama dari pertandingan pasca-musim. Kali itu, mereka kalah melawan Minnesota Twins. Beane kecewa, tetapi ia terhibur karena adanya fakta ia berhasil membuktikan fungsi data statistik pemain yang disusun Brand.
Di akhir film, penutur cerita (narrator) mengutarakan penyebab kekalalan Athletic adalah karena satu-satunya cara memenangkan pertandingan baseball adalah harus dimilikinya dasar fundamental. Walau begitu, keberhasilan Beane menarik hati pemilik Boston Red Sox, klub baseball yang jauh lebih besar daripada Oakland Athletics untuk menariknya sebagai general manager.
Tetapi Beane pada akhirnya menolak tawaran menggiurkan dari Red Sox itu. Pertimbangannya semata karena permintaan putrinya, Casey Beane (Kerris Dorsey) yang menyanyikan sebuah lagu dengan lirik “let me know if you change your mind about staying in California, if not you were a really great dad.”. Keputusan itu membuatnya batal memperoleh gaji terbesar bagi seorang general manager dalam sejarah olahraga sebesar US$ 12,5 juta. Penawaran sebesar itu karena John W. Henry (Arliss Howard) menyadari bahwa sabermetric adalah masa depan baseball.
Beane memilih kembali ke Oakland untuk melatih Athletic. Tetapi metodenya diadopsi klub lain, termasuk Red Sox sehingga mereka kembali terseok-seok. Pada tahun 2004, dengan memakai sabermetric, Boston Red Sox akhirnya berhasil menjuarai “World Series” pertamanya sejak 1918.
Kritik Film
Saya bukan orang yang tahu apa dan bagaimana cara bermain baseball. Tetapi penggunaan statistic sebagai dasar untuk membeli seorang pemain saya akrabi. Bukan dari dunia nyata, tapi dari permainan komputer seperti Football Manager. Dan memang perlu ketelitian ala ahli akuntansi untuk menghitungnya. Apalagi bagi klub kecil dengan anggaran terbatas.
Setelah saya baca sejarahnya, ternyata film yang diangkat dari kisah nyata ini tidak mengangkat seluruh fakta. Seperti adanya prestasi para pemain klub Oakland Athletic yang secara individual memenangkan penghargaan. Mereka adalah Miguel Tejada yang memenangkan Most Valuable Player (MVP) award di American League pada 2002 dan Barry Zito sebagai American League Cy Young Award. Karakter Peter Brand sendiri ternyata bukan nama aslinya, walau kejadiannya nyata. Hal itu karena sang pelaku asli yaitu Paul DePodesta keberatan namanya digunakan dalam film.
Terus-terang, film ini menginspirasi saya dengan cara yang mungkin kurang lazim bagi orang lain. Salah satunya dengan memberikan keyakinan bahwa menggunakan cara yang ‘nyeleneh’ asal argumentatif pasti akan menuai keberhasilan. Tetapi akhir filmnya justru memberi nasehat lebih baik: jangan membuang kesempatan! Bagi saya, tindakan Beane menolak ‘lamaran’ Boston Red Sox sangatlah bodoh. Tampaknya produsen film pun setuju dengan hal ini dengan menekankan pada angka gaji yang ‘dibuang’ oleh Beane.
Di luar hal itu, secara tempo, film ini agak lambat. Bagi penyuka film action atau war, hampir pasti akan bosan menontonnya. Meski berkisah tentang pelatihan tim baseball, tetapi banyak adegan diskusi di dalam ruangannya.Digambarkan pula pertentangan batin di dalam diri Beane, walau di hadapan orang lain ia tampak yakin. Pemilihan Brad Pitt yang ganteng dan muda menjadi Beane sempat meragukan saya. Tetapi melihat permainannya yang matang, penonton seakan lupa bahwa orang itu Brad Pitt. Suami Angelina Jolie itu tampak begitu menyatu dengan karakter yang dimainkannya. Film bagus untuk perenungan, tetapi kurang nyaman untuk hiburan.